Minggu, 31 Oktober 2010

Studentsite Gunadarma

Studentsite merupakan sebuah fasilitas berbasis web yang di peruntukkan bagi semua mahasiswa gunadarma yang masih aktif dalam akademik perkuliahannya guna memudahkan dan memberi kenyamanan bagi mahasiswa. Fasilitas memungkinkan untuk berkolaborasi dan saling mendapatkan informasi antar civitas akademika Universitas Gunadarma. Kita dapat mengetahui berita-berita aktual yang bersumber dari BAAK. Fitur-fitur yang ada di dalam studentsite yaitu:

  1. Locker yaitu untuk mencari berita akademis yang bersumber dari BAAK. Fitur locker ini juga meyimpan pesan dosen (Lecture Message) yang diberikan oleh dosen dari mahasiswa yang bersangkutan.
  2. Address Book yaitu untuk mengelola alamat-alamat email dari mahasiswa gunadarma tersebut.
  3. Calendar, fitur ini untuk memudahkan si mahasiswa mengatur jadwal hariannya.
  4. File Manager yaitu untuk menyimpan dan mengelola file-file.
  5. Forum, tentunya ini tempatnya anak-anak GUNDAR nongkrong untuk sharing dan bertukar pikiran mengenai suatu topik yang sedang hangat saat ini dengan rekan-rekan sejawatnya melalui fitur ini.
  6. Email, bisa di akses dalam satu layar aplikasi dengan studentsite, jadi mahasiswa tidak perlu mengaktifkan aplikasi browser lagi untuk melihat atau membuat pesan.
  7. Bookmark, fitur ini untuk menyimpan URL situs-situs favorit.

Kekurangan dari studentsite gunadarma yaitu:
  1. Terlalu seringnya studentsite mati/non-aktif yang membuat mahasiswa susah untuk masuk ke situs tersebut.
  2. Sering terjadi Bad Login.

Senin, 18 Oktober 2010

Presiden: Banjir Wasior Bukan karena Pembalakan Liar

Wasior - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan hutan di distrik Wasior, Papua Barat, masih terawat dengan baik, sehingga bisa disimpulkan bahwa bencana banjir bandang di kawasan itu bukan karena pembalakan liar.

"Kita lihat, hutan masih terpelihara dengan baik," katanya saat meninjau daerah aliran sungai di Wasior, Kamis.

Ia menegaskan telah memantau kondisi hutan secara langsung maupun melalui foto udara. Dari pemantauan itu, tidak ditemukan kerusakan hutan. Hal itu sesuai dengan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Presiden membenarkan adanya kayu gelondongan yang hanyut terbawa banjir. Namun demikian, Presiden menegaskan, hal itu tidak serta merta membuktikan adanya pembalakan liar.

"Itu adalah pohon tumbang utuh dengan akar," katanya.

Sebelumnya, Presiden melakukan dialog dengan jajaran pemerintah Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat dan menginstruksikan agar tanggap darurat penanganan banjir bandang di Wasior, Papua Barat, diperpanjang dua pekan dari rencana semula.

Sebelumnya proses tanggap darurat banjir Wasior dijadwalkan berlangsung selama 10 hari, 8-18 Oktober. Dengan adanya penambahan waktu dua pekan maka proses tanggap darurat itu baru berakhir pada akhir Oktober.

Kepala Negara mengatakan bahwa tanggap darurat akan diprioritaskan pada penanganan korban yang luka dan sakit.

Selain itu, kata Presiden, juga dilakukan penambahan alat agar penyaluran bantuan yang terus mengalir dapat tuntas dan diterima oleh pihak-pihak yang membutuhkan.

Berdasarkan catatan Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama, sedikitnya 140 orang dilaporkan hilang akibat bencana banjir tersebut. Sementara itu, 150 orang lainnya ditemukan meninggal.

Pemerintah Kabupaten setempat juga mencatat kerusakan berat sejumlah fasilitas umum, seperti sekolah, jalan, dan pasar.

Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana(BNPB) menampung sedikitnya 4.771 pengungsi korban banjir bandang Wasior di Manokwari, Papua Barat.

Berdasar data BNPB, ribuan pengungsi itu tersebar di beberapa lokasi pengungsian di Manokwari.

Jumlah pengungsi terbanyak ada di komplek Balai Latihan Kerja Manokwari, yaitu sebanyak 1.245 orang. Kemudian di Lapangan Kodim Manokwari sebanyak 972 orang.

Sementara itu, BNPB mencatat 2.554 orang pengungsi tercatat melakukan pengungsian mandiri, atau kembali ke keluarga masing-masing di kawasan Manokwari.

Selain di Manokwari, BNPB juga mendata 2.652 pengungsi masih bertahan di Wasior, tempat bencana banjir bandang terjadi beberapa waktu lalu. Mereka tersebar di enam lokasi penampungan pengungsi.

BNPB juga mencatat 355 pengungsi ditampung di Nabire.

Sejarah PSSI

PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. Apabila mau meneliti dan menganalisa lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat jelas bahwa PSSI lahir dibidani oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak, untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung.
PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ke tanah air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana beliau merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi besar itu. Akan tetapi, didorong oleh semangat nasionalisme yang tinggi, beliau kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut.
Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di bidang pergerakan. Sebagai seorang pemuda yang gemar bermain sepak bola, beliau menyadari kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda). Soeratin melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang Belanda.
Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin rajin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya, dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional. Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno). Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.

Rabu, 06 Oktober 2010

MASALAH SOSIAL DI JAKARTA

Jika seseorang ingin mengetahui kondisi negara Indonesia, maka kota yang paling tepat untuk  dipilih adalah Jakarta. Mengapa Jakarta? karena sebagian besar aktivitas negara dan penduduk negeri ini terkonsentrasi di Jakarta. Namun Jakarta memiliki sejumlah masalah tersendiri yang berbeda dengan masalah yang terjadi di Indonesia yang juga tidak terjadi di kota-kota besar lainnya, yaitu mulai dari tidak amannya jika seseorang berada di ruang publik (karena banyak sekali kasus-kasus seperti pencopetan & penjambretan dengan segala metodenya, kemacetan, maraknya pengemis dan pemulung, rumah-rumah kardus, dsb). Selain itu, juga ada masalah lain yang kerap melanda Jakarta di awal tahunnya, yaitu banjir.
Jika ditarik benang merah akan segala masalah yang melanda Jakarta, maka akan kita peroleh satu masalah utama, yaitu masalah kependudukan. Seperti telah kita ketahui, tiap tahunnya Jakarta mengalami peningkatan jumlah penduduk dengan sangat pesat. Pesatnya kenaikan jumlah penduduk Jakarta lebih disebabkan oleh pesatnya arus urbanisasi dibandingkan dengan angka natalitas penduduk asli. Tingginya arus urbanisasi di Jakarta, bahkan tertinggi dibandingkan dengan seluruh kota besar di Indonesia, disebabkan karena mayoritas letak kantor pusat segala jenis perindustrian berada di Jakarta.
Jelaslah bahwa ternyata pembangunan di Indonesia masih belumlah merata, alias masih terpusat di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Seandainya pembangunan di Indonesia dilaksanakan di seluruh kota di Indonesia, dengan menjadikan tiap kota menjadi pusat beberapa kegiatan industri yang ada di Indonesia, tentunya penduduk desa akan lebih memilih untuk tetap tinggal di kampung halamannya saja dari pada harus jauh-jauh ke Jakarta, karena dengan ke Jakarta berarti mereka harus meninggalkan sanak kerabat dan handai taulan yang menjadi orang pertama di saat-saat sedih dan senang mereka. Sayangnya, kebijakan otonomi daerah belum mampu membuat sebuah kota tertinggal menjadi kota yang sedang membangun, bahkan maju. Seakan kebijakan ini hanya menjadi kebijakan yang bersifat kontekstual saja.
Mereka yang disebut sebagai kaum urban sebagian adalah mereka yang berasal dari kota besar lain, yang mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Banyak pula yang ke Jakarta karena diiming-imingi cerita-cerita indah tetangga-tetangga mereka yang terlihat berhasil setelah beberapa lama tinggal di Jakarta. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa kebanyakan mereka hanya diceritakan mimpi-mimpi oleh kawan sekampungnya, bahkan banyak yang ditipu, sehingga mereka di Jakarta hanyalah menjadi gelandangan saja yang setiap harinya mengemis, mengamen, dsb. Ada pula dari kaum urban ini yang mencoba berwirausaha di Jakarta, maka terbit dan ramailah apa yang disebut dengan pedagang kaki lima (yang sudah mendekati kaki dua, karena seperlima jalanan yang mereka gunakan untuk berdagang), namun hampir bahkan terkadang melebihi setengah jalan. Mereka yang berprofesi seperti ini memang ada yang berasal dari penduduk asli kota tersebut, namun jauh lebih banyak pendatang. Sebagian lagi adalah orang-orang yang pada awalnya pindah dan tinggal di Jakarta untuk menempuh pendidikan. Namun kebanyakan dari mereka yang menempuh pendidikan di Jakarta, entah karena kekhawatiran akan masih sulitnya lapangan kerja untuknya di kampung halamannya, entah juga karena dia sudah merasa kerasan dengan kondisi Jakarta, mereka lebih memilih untuk tetap tinggal di Jakarta. Amat sangat disayangkan, jika ternyata orang-orang yang ke Jakarta pada awalnya hanya untuk menempuh pendidikan, namun setelah lulus ia lebih memilih untuk tinggal di Jakarta dengan berbagai alasan yang ada. Karena ternyata ia tidak bisa untuk mengamalkan segala ilmu yang dimilikinya untuk pembangunan kampungnya yang masih tertinggal. Sulit memang untuk mereka yang umur kelulusannya baru beberapa tahun saja, karena mereka baru saja menikmati udara segar memperoleh penghasilan dengan jerih-payahnya sendiri, yang kita tahu bahwa penghasilan di kota-kota besar terhitung lebih besar daripada penghasilan di kota-kota kecil. Namun bukankah ada masa tenggang di mana ia sudah saatnya kembali ke kampung halamannya untuk membangun kampung halamannya? Bukankah sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan seperti ini, bahwa setiap putra daerah harus mengembangkan daerahnya masing-masing. Putra daerah biperbolehkan merantau dengan catatan perantauan mereka adalah pencarian bekal untuk mengembangkan daerah mereka masing-masing. Yang nantinya, para wirausahawan ini akan enggan dan bahkan ada yang memindahkan usahanya ke kota yang sedang membangun saja karena Jakarta
ternyata sudah sepi dari kaum urban.
Apakah tidak sebaiknya pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam menangani masalah kependudukan ini? Sehingga, jika tiap industri yang ada dibagi sama untuk tiap-tiap kota, dengan tiap kota memiliki ciri masing-masing industri unggulannya, serta tidak ada kota yang memiliki jumlah pusat industri melebihi kota-kota lainnya, niscaya bukan urbanisasi yang terjadi, namun migrasi antar penduduk kota. Dan hal ini adalah alamiah, karena tiap orang memiliki minat dan bakat yang berbeda. Sehingga tak perlu ke kota-kota besar lagi untuk menemukan dengan mudah orang yang berasal dari daerah tertentu. Dan hasilnya, akulturasi budaya tidak hanya terjadi di kota besar saja. Dengan ini, pelan namun pasti, tiap penduduk daerah, akan lebih memilih tinggal di daerahnya saja karena lebih nyaman dan dekat dengan sanak kerabat.
Solusi lain, adalah dengan memulangkan paksa kaum urban yang menjadi gelandangan di kota-kota besar. Tentunya pemulangan mereka ke kampung halamannya tidak hanya berupa pemulangan massal saja seperti yang sudah-sudah. Namun berikan pula pekerjaan untuk mereka setelah memberikan bekal modal dan pelatihan keterampilan. Dengan ini, pelan namun pasti para gelandangan akan lebih memilih untuk tetap tinggal di kampung halamannya saja ketimbang menjadi pengemis atau pemulung di kota besar.
Dengan solusi-solusi di atas, saya yakin, tidak hanya masalah kependudukan yang teratasi, tapi juga masalah kemacetan, lapangan kerja, serta pemenuhan sandang-pangan di Indonesia. Dalam kurun waktu yang lebih lama, pemerataan penduduk dan pemerataan pembangunan akan terjadi di seluruh kota. Sayangnya, pemerintah Indonesia, cenderung hanya melihat lima tahun ke depan saja, yaitu era kepemimpinan dan masa jabatannya. Setelah itu, kebanyakan mereka merasa sudah menjadi di luar tanggung jawab mereka. Karenanya solusi yang diberikan pemerintah cenderung bersifat jangka pendek dan tidak dapat membuat rakyat menjadi produktif. Dana yang disediakan, yang sejatinya berasal dari uang rakyat, tidak mereka kembalikan ke rakyat dengan cara membangun kota-kota kecil dan memberikan keterampilan dan pinjaman modal pada rakyat, tapi justru mereka alokasikan untuk program pembenahan kota yang bersifat jangka pendek dan karenanya mayoritas gagal, bahkan banyak pula yang digunakan untuk rehat dari pekerjaan dengan berbagai alasan, tanpa mereka sadari, bahwa jika mereka sudah memilih pekerjaan seperti itu, maka akan ada banyak kepentingan rakyat yang harus diurus/diselesaikan dengan baik.
Namun amat sangat disayangkan, entah karena enggan dan malas berpikir (padahal banyak sekali pemikir-pemikir yang bagus di negeri ini), ternyata pemerintah kota cenderung memilih solusi membebek, yaitu mengikuti apa yang telah dilakukan oleh negara-negara maju tanpa melihat terlebih dahulu apakah solusi tersebut cocok atau tidak dengan kultur bangsa kita. Saat ini pemerintah berusaha mengatasi kemacetan dengan membangun koridor Busway di tiap ruas jalan utama di Jakarta, yang sebenarnya solusi ini sangat tidak cocok dengan kultur bangsa kita. Yang terjadi justru kemacetan semakin marak karena kecenderungan prilaku supir bis yang suka berhenti di tengah jalan dan masih merasa tidak nyamannya masyarakat kota jika berada di ruang publik sehingga mereka masih memilih membawa kendaraan pribadi ketimbang menaiki busway. Program terbaru pemerintah yang lain  untuk mengatasi masalah kemacetan ini adalah dengan memajukan jam masuk sekolah. Ini juga terasa amat sangat lucu. Seakan pemerintah tidak sadar bagaimana sulitnya bangun pagi untuk kebanyakan orang karena tingginya jam operasi berbagai media elektronik yang sampai larut malam. Semestinya, jika meminta sekolah-sekolah memajukan waktu masuknya, maka seyogyanya juga pemerintah meminta pihak pertelevisian dan radio untuk mengurangi waktu tayang siaran malamnya. Hingga kini, pemerintah masih berkutat untuk mengatasi masalah bangsa hanya pada kulitnya saja, bukan pada akar dan intinya, hanya pada satu aspek saja, bukan melihat dari keseluruhan aspek yang menjadi sebab dan akibat terhadap masalah-masalah yang ada. Jika pola pikir dan pola penyelesaian pemerintah terhadap masalah-masalah yang ada masih hanya melihat di satu aspek saja tanpa memikirkan aspek-aspek lain yang akan mengalami dampak dari dibuatnya keputusan-keputusan seperti itu, maka jangan heran kalau hingga kapanpun masalah-masalah yang ada di Jakarta tidak akan terselesaikan dengan tuntas.

PEMBANGUNAN GEDUNG BARU DPR

Memang, bukan kali pertama rencana renovasi gedung DPR dengan biaya yang super fantastis. Sebelumnya, pada tahun 2007 lalu, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR juga pernah mengajukan permohonan dana sebesar Rp 40 miliar untuk perbaikan gedung wakil rakyat tersebut. Kemudian, November 2008, juga mengajukan dana renovasi kembali dengan dana yang tidak sedikit, yakni Rp 33,4 miliar. Dana tersebut dialokasikan untuk beberapa pos, Rp 26 miliar untuk kepentingan renovasi bangunan dan perbaikan toilet, sementara Rp 6,9 miliar diperuntukkan bagi pengadaan furniture dan sarana pendukung lainnya. BURT DPR beralasan renovasi tersebut diperlukan untuk menambah ruang anggota legislatif berikut staf ahli anggota DPR yang bertambah setelah Pemilu 2009 digelar. Rencana tersebut mendapat penolakan, sebab sebagian besar menilai anggaran renovasi yang ditetapkan BURT tersebut sebenarnya bisa diminimalisasi. Apalagi, sejumlah anggota DPR mengakui bahwa gedung tersebut sebenarnya masih layak pakai. Meski sebagian anggota DPR telah berganti setelah Pemilu 2009 lalu, BURT DPR tetap mengeluarkan usulan-usulan yang menimbulkan gejolak di masyarakat. Dengan alasan kondisi gedung Nusantara I tak bisa lagi menampung anggota DPR, serta kondisinya sudah retak, BURT DPR mengusulkan pembangunan gedung baru, Usulan itu juga muncul sebagai reaksi atas kondisi gedung yang disebut-sebut mengalami kemiringan hingga 7 derajat akibat gempa beberapa waktu lalu. Hal yang menarik, jumlah dana yang diajukan sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari usulan yang diajukan sebelumnya. Untuk tahap pertama, anggaran pembangunan telah disepakati Rp 250 miliar. Langkah ini pula menyulut reaksi keras dari masyarakat. Mereka dengan tegas menolak merenovasi dan pembangunan gedung DPR yang baru. Dari hasil jajak pendapat SI yang melibatkan 400 responden, gambaran tersebut terlihat. Mayoritas atau sebanyak 65% responden menyatakan penolakannya. Ada 78% responden yang menyatakan penolakannya terhadap perbaikan bangunan tersebut. Di tengah situasi masyarakat yang kian terjepit, uang triliunan rupiah seharusnya bisa digunakan untuk membiayai sektorsektor penting yang memang membutuhkan banyak suntikan dana, sebut saja sektor pendidikan. Alasan-alasan itu pada akhirnya membuahkan tuntutan dari sebagian besar responden agar BURT DPR bisa membatalkan pengesahan anggaran renovasi dan pembangunan gedung DPR. BURT DPR juga diminta untuk mengevaluasi ulang pengajuan anggaran sebesar Rp 1,8 triliun. Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini citra negatif telah melekat pada parlemen tersebut. Hal itu tak lain disebabkan dari perilaku anggota DPR sendiri. Pada keanggotaan DPR periode 2004–2009, misalnya beberapa anggota DPR telah mencoreng citra parlemen karena keterlibatannya dalam berbagai kasus hukum. Sementara di sisi lain kinerja anggota DPR juga dinilai belum maksimal. Hal itu ditandai dengan minimnya produk legislasi yang dihasilkan, atau kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak membela aspirasi rakyat. Secara rutin, dalam tiga tahun terakhir,SI mengadakan jajak pendapat untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja DPR. Hasilnya, belum ada peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Dalam survei pada 1–3 Agustus 2006, misalnya mayoritas responden menilai kinerja DPR berada pada level cukup dengan persentase 51%. Sementara responden yang menjawab buruk tidak berbeda jauh, yakni 42%. Pada jajak pendapat yang sama satu tahun kemudian, yakni 27–30 November 2007, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja DPR semakinmenurun. Respondenyang memberikan penilaian buruk mencapai 69%. Mayoritas responden atau 53% responden memberikan nilai buruk pada kinerja DPR. Bagaimana dengan kinerja anggota DPR yang baru? Pemilu Legislatif 2009 yang diharapkan bisa membawa angin segar bagi peningkatan kinerja DPR, ternyata dinilai belum mampu juga menunjukkan kinerja yang maksimal. Kinerja DPR di masa-masa awal keanggotaannya baik dalam fungsi legislasi, pengawasan, maupun anggaran dinilai sebagian besar responden, masih kurang. Hal tersebut tergambar dalam hasil survei pada 5–7 Mei 2010.Terlihat, hanya 3% responden yang memberikan nilai memuaskan dan 13% cukup puas atas kinerja DPR. Sementara, 70% responden lainnya menilai kinerja DPR tidak memuaskan dan sisanya menjawab tidak tahu. Atas dasar itulah, masyarakat berharap agar DPR bisa segera meningkatkan kinerjanya sekaligus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat dengan lebih memprioritaskan kepentingan rakyat ketimbang sibuk dengan urusan internal, seperti pengadaan gedung baru atau sejenisnya. Apalagi, selama ini berbagai fasilitas juga sudah diberkahi untuk para anggota DPR. Seharusnya, hal itu bisa dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya dan idealnya mampu mendongkrak kinerja para wakil rakyat tersebut. Sementara yang terjadi kini, ketersediaan aneka fasilitas tidak kunjung menjadikan kinerja anggota DPR menjadi lebih baik. Jika dikaitkan dengan pembangunan gedung baru ini pun, sebagian besar responden pesimistis, bahwa program tersebut akan menghasilkan peningkatan kinerja seperti yang dijanjikan. Dalam hasil jajak pendapat, pendapat tersebut disampaikan oleh 73% responden. Bahkan, renovasi justru dinilai membawa dampak negatif, di antaranya pemborosan anggaran. Meski demikian, pendapat berbeda disampaikan 7% responden lainnya. Mereka yakin dengan adanya perbaikan fasilitas gedung, kinerja anggota DPR bisa meningkat, lantaran dapat mendukung keamanan dan kenyamanan dalam bekerja. Banyaknya proyek di lingkungan BURT DPR dengan dana fantastis pada akhirnya tak hanya menumbuhkan kekecewaan masyarakat, tetapi juga memunculkan kekhawatiran terjadinya penyelewengan penggunaan anggaran negara. Berangkat dari kekhawatiran itu,BURT DPR pun dituntut agar dapat bersikap transparan terhadap setiap anggaran yang diajukan. Dalam proyek pengadaan gedung baru ini, misalnya harus dapat dijelaskan kepada publik tingkat urgensinya, yakni dengan menyertakan data valid yang menyebutkan kepastian kerusakan yang terjadi di dalam dan luar gedung. Apakah benar mengalami kemiringan atau hanya kerusakan ringan? Jika memang diperlukan gedung baru, BURT DPR perlu memberikan perincian, mulai dari fungsi ruangan, bangunan seperti apa yang akan dibangun serta perincian biaya. Sebab, dengan ketidakjelasan membuat publik bertanya-tanya seberapa besar sebenarnya urgensi dari pembangunan gedung baru dan apakah dana yang diajukan memang benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan.