Sabtu, 04 Juni 2011

KEADILAN

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan "kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan" (back to law, justice and humanity). Apa maksudnya, karena tidak ada lagi hu-kum, keadilan dan rasa kemanusiaan di Indonesia? Apa proses hukum yang berintikan keadilan sudah jauh menyimpang dari keadilan dan kemanusiaan?

Atau karena ikut-ikutan latah saja, dikaitkan dengan ungkapan back to basic dan ada lagi back to nature? Atau mungkin ada alasan lain untuk menunjukkan, bahwa dalam proses peradilan dan penegakan hukum di Indonesia tidak ada yang "kebal hukum", siapa pun harus diperiksa "tanpa pandang bulu" termasuk "setan gundul" dan tidak perlu takut pada backing-backing-nya?

Atau mungkin ada sebab-sebab lain, seperti pelecehan terhadap lembaga peradilan? Apakah kondisi hukum dan keadilan di Indonesia sudah sedemikian ruwet semrawutnya seperti benang-benang kusut, semakin dibenahi semakin kisut? Atau karena aparat penegak hukum, tidak berhasil mengejar para pelaku tindak pidana korupsi, ibarat sulitnya mengejar layang-layang yang putus benangnya? (nututi layangan pedot).

Dalam kehidupan kita sehari-hari memang sering terdengar orang berkeluh kesah, bagaimana mungkin keadilan dapat ditegakkan di negeri kita, kalau seorang pencuri ayam dihukum berat, sedangkan seorang koruptor yang merugikan negara hanya dihukum ringan saja?

"Di mana letak keadilannya?"

Masyarakat kita pada umumnya sangat sederhana dalam pola pikirnya, terutama dalam masyarakat adat yang hanya mampu mengucapkan kalimat yang singkat saja, yaitu nyuwun adil (minta keadilan). Bahkan mitos yang pernah berkembang dan pernah kita dengar di masyarakat adalah "kapan datangnya ratu adil". Itu menunjukkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang bersifat mendasar dalam kehidupan seorang manusia dan karena itu pula masalah yang juga paling mendasar ialah bagaimana "ukuran keadilan" itu sendiri.

Persoalan ini sudah berkembang sejak munculnya ilmu-ilmu sosial, dan sampai sekarang masih terus diperdebatkan orang. Karena itu ada yang beranggapan, bahwa ukuran keadilan itu "subyektif" dan "relatif". "Subyektif", karena ditentukan oleh manusia yang mempunyai wewenang memutuskan itu tidak mungkin memiliki kesempurnaan yang absolut. "Relatif", karena bagi seseorang dirasakan sudah adil, namun bagi orang lain dirasakan sama sekali tidak adil.

Bangsa Indonesia tetap memandang keadilan dan norma-norma kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sesuatu yang luhur dan suci, yang dapat member ketentraman dan ketenangan lahir dan batin, karena keadilan memang merupakan kepentingan utama dalam kehidupan manusia. Karena itu dapat dimengerti, apabila terdapat perbedaan dalam melihat takaran atau ukuran keadilan.

Memang ada bermacam-macam teori dan pandangan mengenai hukum dan keadilan yang dapat kita pelajari, namun pertanyaan praktis yang timbul adalah: Apakah anggota masyarakat yang meminta keadilan mendapat perlakuan dan pelayanan secara wajar oleh polisi, jaksa dan hakim? Apakah polisi, jaksa dan hakim melayani anggota masyarakat tersebut secara jujur dan tidak memihak? Apakah proses penangkapan, penahanan, penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan tidak menyimpang dari asas praduga tidak bersalah dan perlindungan hak asasi manusia? Apakah proses tersebut tetap berada pada bingkai atau pigura hukum? Saya tidak menggunakan istilah koridor hukum, walaupun istilah tersebut sering dipakai beberapa pakar hukum.

Koridor menurut tatabahasa artinya suatu lorong yang menghubungkan gedung yang satu dengan yang lain. Lorong tidak selalu lurus dan terang, tapi ada kalanya berbelok-belok yang ujungnya gelap, tidak kelihatan transparan. Kelakar sementara orang, jangan-jangan prosesnya menjadi "Uud-45" (Ujung-ujungnya duit, dikasih 4 minta 5). Keadilan pada hakekatnya merupakan perasaan yang luhur yang tidak bisa diperoleh melalui pembelian uang atau nilai kebendaan lainnya.

Oleh karena itu apabila ada orang yang membeli keadilan melalui uang atau menjual keadilan, langsung saja perasaan kita tersinggung. Nurani kita tergores. Dan, jika ini terjadi secara alamiah akan terjadi perlawanan dalam kalbu kita. Para penegak hukum harus lebih tanggap dan cekatan dalam menangani rasa keadilan masyarakat. Kendati demikian, kita tidak boleh menutup mata, bahwa proses penegakan keadilan belum lagi sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan kita. Itu terbukti dari masih adanya kejadian-kejadian yang merusak citra keadilan, seperti masih adanya perbuatan yang tercela dari beberapa hakim. Padahal jabatan hakim adalah jabatan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya oleh orang-orang yang amat terpilih saja.

Di antara jabatan duniawi yang disebut secara terbatas di dalam Kitab Suci, adalah hakim dan karena itu tidak jauh dari maksud Kitab Suci, bahwa peradilan itu dilaksanakan "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Para hakim juga sadar, bahwa berbagai ragam cobaan dan godaan akan selalu menghadang mereka yang akan mencoba mempengaruhi keteguhan imannya, dengan antara lain mau menerima imbalan sesuatu.

Apabila hal tersebut terjadi, maka putusan keadilan yang diucapkan, adalah keadilan semu dan keadilan yang tidak adil, karena didasarkan atas imbalan materi, dan tidak didasarkan atas keyakinan terhadap salah atau tidaknya seseorang. Martabat hakim akan jatuh di mata para pencari keadilan, baik karena para hakim mau menerima sesuatu malahan meminta sesuatu, ataupun karena tidak dapat mengendalikan diri dalam memimpin persidangan.

Menegakkan keadilan dan kebenaran atas dasar imbalan tertentu, sesungguhnya merupakan pekerjaan yang bersifat nista dan tidak layak dilakukan oleh seorang hakim. Itulah sebabnya dalam pertemuan CGI di Jakarta bulan November 2001, ditekankan perlunya segera dilaksanakan program reformasi di sektor peradilan. Dalam salah satu presentasi bahkan diungkapkan bahwa 75 % penduduk Indonesia berpendapat sektor peradilan adalah sektor yang korup.

Ada ungkapan yang berbunyi, What this country needs is not more judges, but more judgment. Itulah sebabnya mengapa penegakan hukum merupakan upaya menumbuhkan dan menegakkan keadilan dalam ukuran obyektif dengan alur pikir yang rasional. Jauh dari rasa emosional,
apalagi irasional, tidak berdasarkan akal yang sehat, malahan berkesan akal-akalan.

Mantan Hakim Agung Johansyah mengakui terkadang terdapat inkonsistensi putusan di Mahkamah Agung karena kelemahan administrasi dan banyaknya penafsiran hukum untuk kasus yang berbeda tapi jenis perkara yang sama. (Media Indonesia, 13 November 2002).

Beban-beban kemasyarakatan dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan masyarakat dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan, perlu diimbangi dengan sikap tanggap untuk lebih memantapkan prinsip "kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan."

MANUSIA DAN BUDAYA


Buku Stephen R Covey berjudul The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness setidaknya menjadi pemicu diskusi tentang budaya unggul akhir-akhir ini. Para cerdik cendekia pun ribut mencari apa yang sebenarnya unggul dalam diri kita dan apa memang ada keunggulan itu. Tidak main-main, bahkan Bapak Presiden merasa perlu menyampaikan kepada rakyatnya untuk melahirkan budaya unggul dalam bangsa ini. 

Dalam maksud yang sederhana, budaya unggul akan bisa memulihkan harga diri dan martabat bangsa ini menjadi bangsa yang tidak mudah dilecehkan dan diharapkan mampu mengatasi krisis berkepanjangan dan seterusnya. Jika budaya unggul bisa didiskusikan bersama seiring dengan manusia unggul, setidaknya apa yang dinyatakan oleh Covey sebagai manusia dengan predikat greatness membawa ingatan kita pada apa yang oleh filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), dinyatakan sebagai uebermensch yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai superman. Kebudayaan merupakan identitas dari manusia.

Untuk melahirkan budaya unggul, terlebih dahulu manusia harus bisa menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul tidak lahir dari situasi statis, melainkan dari proses dinamis. Tidak saja dalam pengertian bagaimana upaya menemukan talenta terbaik dalam diri seseorang, melainkan upaya untuk terus-menerus menjadi manusia yang lebih (over).

Beberapa orang menafsirkan ajaran uebermensch Nietzsche sebagai anjuran untuk memproduksi jenis manusia yang unggul dalam mengatasi kemampuan manusia lain. Namun, dalam konteks ini saya kira lebih tepat membaca uebermensch Nietzsche sebagai anjuran untuk melahirkan manusia unggul dengan cara melahirkan dirinya untuk terus-menerus menjadi manusiawi. Kata ueber, dalam bahasa Jerman mempunyai dua pengertian yang dalam bahasa Inggris bisa diasosiasikan menjadi kata super atau over.

Dalam pengertian ini, Ignas Kleden (2004) menyatakan bahwa manusia hanya akan berhasil menjadi manusia melalui proses ueberwindung atau overcoming (dalam bahasa Inggris). Anjuran untuk berproses menjadi manusia unggul sudah dinyatakan dengan amat jelas dalam Also Sprach Zarathustra. Jelas sekali ketika Nietzsche menulis bahwa pertanyaan pertama dan satu-satunya yang dianjurkan oleh Zarathustra adalah Wie Wird der Mensch ueberwubden (bagaimana caranya manusia mengatasi manusia).

Pengertiannya, untuk lahir sebagai superman, manusia harus terus-menerus mengatasi dirinya sebagai manusia. Untuk menjadi manusia unggul, manusia harus bisa meningkatkan dirinya dari sekadar manusiawi (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Manusia unggul keluar dari proses dinamis dan penuh tantangan, manusia yang bisa menggunakan kehendak dan kuasanya untuk mengatasi rasa lemahnya. Nietzsche adalah filsuf yang begitu yakin bahwa manusia harus berdiri di atas sifat-sifat konkretnya.

Manusia bukanlah suatu konsep abstrak sebagaimana dipahami oleh kaum idealis atau juga kaum materialis. Keduanya sering melahirkan pandangan-pandangan dunia yang bersifat statis. Padahal, hidup dan kehidupan itu sendiri merupakan sesuatu yang dinamis dan bergerak terus-menerus. 
Bukankah Nietzsche sendiri menyatakan, man is something that is to be surpassed (Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui). Atau dengan yakin ia menyatakan, what is great in man is that he is a bridge and not a goal; what is lovable in man is that he is an over- going and down-going (Apa yang agung dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah jembatan dan bukan tujuan; apa yang patut dicinta dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah perjalanan naik dan turun).

Melahirkan manusia unggul jangan disalahpahami hanya dengan pengertian meloloskan siswa-siswa berprestasi yang mampu merengkuh juara olimpiade fisika, matematika, atau kimia. Menjadi manusia unggul biasa dialami oleh siapa saja yang mampu mengatasi kediriannya menuju kedirian yang lebih. Sifat serakah dan senang korupsi adalah manusiawi dan bahkan menjadi bagian tak terpisah dari manusia. Untuk lahir menjadi manusia unggul, seseorang harus bergerak untuk memperbarui kemanusiawiannya menjadi lebih manusiawi dengan menjelma menjadi manusia yang tidak serakah dan senang korupsi.

Seorang pejabat akan bernilai lebih jika setiap saat dia berhasil mengawasi dan menekan nafsu korupsinya. Dalam mengarungi bahtera kehidupan yang nyata itulah manusia diberi kuasa untuk memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia harus menciptakan nilai-nilai untuk dirinya sendiri pada saat perjalanan kehidupan tersebut.

Di sini dapat dipahami mengapa Nietzsche amat membenci pada mereka yang mudah menyerahkan diri pada skema nilai-nilai yang diciptakan di luar dirinya sendiri. Nietzsche menyebut mereka sebagai “manusia bermoral gerombolan” atau “bermoral budak”. Mereka adalah para pengecut yang hanya bisa berlindung di balik nilai-nilai yang menjerat kedigdayaannya.

“The ignorant, to be sure, the people-they are like a river on which a boat floateth along; and in the boat sit the estimates of value, solemn and disguised”. Mereka seperti sebuah sungai yang di atasnya mengambang sebuah perahu; dan di dalam perahu itu duduk nilai yang dihargai, penuh kemeriahan dan samaran.

Manusia unggul, jika mau merujuk pada Nietzsche, bisa lahir dan dilahirkan dari manusia yang tak lagi menggantungkan diri segala tekanan dari luar. Dengan tidak memperpanjang segala kontroversi pendapat Nietzsche, budaya unggul dalam perspektif ini bisa dijadikan rujukan untuk mengembalikan jati diri dan martabat kebangsaan yang hancur di tengah keserakahan modal, penguasa, utang luar negeri, bahkan terorisme.

CINTA ....


Kata-kata itu selalu terngiang ditelingaku, semua hal yang terjadi melintas difikiranku. Emang benar, saat memikirkan seseorang yang kita cintai, tak kan pernah habis waktu untuk itu. Hal itu juga membuat kita bisa kembali bersamangat dalam menjalani hidup. Menikmati hari-hari yang terasa penuh dengan beraneka warna.

Cinta….sungguh anugrah yang terindah yang diberikan Sang Pecipta pada makhluknya, tanpa cinta tak akan ada kedamaian didalam dunia.

Seperti hidupku kini, kehadiran cinta mengubah segala hal dalam hidup, lebih menghargai untuk apa dan mengapa kita hidup. Kedatangannya membuatku takkan berhenti mensyukuri nikmat Tuhan dan ingin hidup seribu tahun lagi.

Cinta..kata-katanya memberikan arti yang sangat dalam bagi insan yang sedang mengalaminya, jatuh cinta seolah menjadikan dua insan berbeda bersatu dalam naungannya. Begitu besarnya arti cinta membuat orang-orang enggan untuk berpaling darinnya.

Tapi lain halnya jika seseorang sedang berduka dengan berakhirnya hubungan ikatan cinta, memikirkan setiap kenangan merupakan hal yang sangat menyakitkan buatnya. Seolah hati teriris-iris sembilu. Ingin rasanya jiwa lepas dari raga, hanya untuk sekedar melepaskan semua kenangan yang tirtinggal saat bersamanya.

Menghapus semua kenangan yang indah bukanlah hal yang mudah, apalagi kenangan itu sangat berkesan bersama orang yang kita cintai, tapi dengan memikirkannya membuat sakit didalam hati. Setiap orang yang sedang putus cinta, pasti merasakan hal yang sama. Kepergian sang kekasih menoreh luka dalam yang terkadang perlu waktu lama untuk mengobatinya.

Begitulah cinta, datang tanpa diduga,namun terkadang pergi begitu saja. Hanya satu yang bersemayam diotakku, benarkah itu cinta? Kenapa cinta begitu mudah pergi dan hilang saat ia tak bisa ada pada satu orang?saat cinta lain datang menghampiri, mengapa cinta begitu cepat pindah kelain hati?ada apa dengan cinta?

Benarkah itu semua hanya cinta sesaat?atau hanya sebuah pencaharian cinta sebelum cinta menemukan pasangan jiwanya?

Entahlah….semua pertanyaan itu mendapatkan jawaban yang berbeda dari setiap orang yang kutemui. Bagiku cinta adalah sesuatu harta yang harus dijaga dan dipertahankan, karena hidup tiada arti tanpa cinta.

Bagai mana menurutmu? Tentang arti cinta?Adakah engkau akan memberikan jawaban atas cinta ini?

PENDERITAAN


Katakan hidup Anda berat, cobaan datang tanpa henti, ada satu pikiran yang harus kita hilangkan agar kita tetap tegar dan bahagia menghadapi kehidupan tersebut dan tidak salah arah dalam menyikapi sebuah penderitaan. 

Apakah pikiran yang harus kita hindarkan tersebut? 

Ya, ada satu paradigma yang sering membuat kita semakin menderita bila sedang dicoba dengan masalah, yaitu paradigma atau pandangan yang menganggap bahwa sebab kita mendapat masalah adalah karena kita sedang DIHUKUM akibat dosa-dosa kita. 

Jadi semakin berat masalah, semakin terpuruk kita dalam kesedihan dan penyesalan tiada habis akan kemungkinan "dosa" yang telah kita lakukan di waktu lampau kita. Semakin berat masalah, semakin panik kita akan kemungkinan dosa besar tak terampuni yang mungkin menjadi penyebab dari masalah tersebut. 

Boleh saya tenangkan diri Anda, pembaca semua, bahwa TUHAN tidak sedang menghukum kita dengan semua masalah yang terjadi pada kita. Bahwa semua penderitaan Anda bukanlah sebuah hukuman. Sekali lagi, penderitaan hidup bukan hukuman. 

Sebaliknya, dengan masalah hidup yang sedang diberikan-Nya pada kita, Tuhan sedang menyiapkan kita untuk sesuatu yang lebih besar. Masalah yang kita hadapi adalah sebuah pelajaran agar kita bisa naik kelas. Saya juga sering dicekoki petuah bahwa doa kita tidak akan terkabul bila kita banyak dosa.
Pandangan ini mungkin benar (saya bilang, cuma mungkin), tapi pandangan ini SANGAT SEMPIT dan dengan gegabah telah berani-beraninya menafsirkan maksud baik Tuhan. 

Arti kata Rabb atau Tuhan dalam kata Allah sebagai Rabbul'alamin alias Tuhan Semesta Alam, andaikata kita tahu, sebenarnya mengandung makna YANG MAHA KUASA MENDIDIK, MENUMBUHKAN & MENJAGA. (Sumber: Al Qur'an & Terjemahnya, Revisi Terbaru, Departemen Agama RI, juz 1, hal 3) Artinya, dengan segala yang DIA takdirkan untuk terjadi pada kita, DIA pada esensinya sedang MENDIDIK kita agar kita bisa TERUS BERTUMBUH. 

Karena memang itulah tujuan Tuhan menaruh kita di dunia ini, agar kita LEARN and GROW from the lessons that HE gives us. Agar kita manusia ini belajar dari semua pengalaman hidupnya dan karenanya bisa tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang lebih baik. Dan sesungguhnya, apapun yang terjadi pada kita, kita selalu ada dalam penjagaan Tuhan

Senantiasa bala` (cobaan) menimpa seorang mukmin dan mukminah pada tubuhnya, harta dan anaknya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa. (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan dinyatakan hasan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399)

Seorang yang ditimpa musibah hendaklah tahu bahwa di setiap sudut kampung dan kota bahkan setiap rumah, ada orang yang tertimpa musibah. Di antara mereka ada yang terkena musibah sekali dan ada pula yang berkali-kali. Hal itu tidak terputus sampai seluruh anggota keluarga terkena semua. Dengan demikian ia akan merasakan ringannya musibah karena menyadari bukan hanya dia saja yang terkena cobaan.

Jika melihat ke kanan, ia tidak melihat kecuali orang yang terkena musibah. Dan jika melihat ke kiri, ia tidak melihat kecuali orang yang sedih. Bila orang yang terkena musibah tahu bahwa jika dia memerhatikan alam ini tidaklah ia melihat kecuali di tengah-tengah mereka ada yang terkena musibah, baik dengan lenyapnya sesuatu yang dicintai atau tertimpa dengan sesuatu yang tidak mengenakkan. 

Maka dia akan tahu bahwa kebahagiaan dunia hanyalah seperti mimpi dalam tidur atau bayangan yang lenyap. Jika kesenangan dunia membuat tertawa sedikit, ia akan menjadikan tangis yang banyak. Dan tidaklah suatu rumah dipenuhi keceriaan kecuali suatu saat akan dipenuhi ratap tangis. Muhammad bin Sirin berkata: “Tiada suatu tawa kecuali setelahnya akan datang tangis.”


TANGGUNG JAWAB


Di salah satu upacara perpisahan dan serah terima jabatan tertentu pada suatu organisasi, pimpinan yang digantikan menyampaikan sambutan perpisahan. Salah satu isi sambutan yang mengesankan adalah: “….apabila proses dan kinerja di unit ini belum maksimum, semua adalah tanggung jawab saya, untuk itu saya mohon maaf….di sisi lain kalau toh ada keberhasilan itu adalah hasil kerja dari kita semua, dan terimakasih atas dukungannya selama ini…..”. Coba bandingkan dengan ucapan seorang pimpinan lain berikut ini “….saya tidak mengerti mengapa kinerja di unit ini tidak mencapai standar perusahaan….padahal saya sudah memberi petunjuk kepada semua karyawan…..mereka sepertinya lari dari tanggung jawab….”. Apa bedanya? Kalau pernyataan yang pertama “ … semua hak, wewenang, dan kewajiban adalah tanggung jawab saya…”. Sementara pernyataan kedua bermakna “….saya yang jawab, karyawan yang nanggung….” alias tidak bertanggung jawab dan alias ….”lempar batu sembunyi tangan….”

       Susahkah untuk bertanggung jawab atas suatu proses dan kinerja yang dihasilkan? Jawabannya kemungkinan ada tiga yakni (1) bertanggung jawab, (2) mengelak tanggung jawab, dan (3) tidak bersedia bertanggung jawab karena merasa tidak mampu. Yang bertanggung jawab selalu memandang setiap hak, tugas, dan wewenang adalah amanah. Ada semacam kepercayaan dari orang lain atau organisasi untuk melaksanakannya dengan baik. Berani dan tegas  apapun hasilnya, itu adalah tanggung jawabnya. Dia tidak mau melempar tanggung jawabnya kepada orang lain ketika dia gagal melaksanakan amanahnya. Sebaliknya orang yang tak bertanggung jawab sering tidak mau menerima kesalahan atas suatu pekerjaan hanya dibebankan pada dirinya saja. Sering mengkambing hitamkan orang lain. Tidak merasa beban dan malu bahwa kegagalan itu sebenarnya tanggung jawabnya. Namun kalau berhasil maka dia tidak canggung mengatakan bahwa semua keberhasilan itu karena dia. Sementara tipe orang ketiga sudah sejak mula dia mengatakan tidak bisa menjalankan amanah yang diberikan karena tidak mampu dan kurang berpengalaman. Sama dengan tipe pertama, orang tipe ini memiliki kejujuran yang tinggi.

       Mengapa sikap tanggung jawab diperlukan dalam suatu organisasi? Simaklah beberapa ungkapan berikut ini.“Setiap orang dari kamu adalah pemimpin, dan kamu bertanggung jawab atas kepemimpinan itu”.(Al-Hadits, Shahih Bukhari – Muslim). “Anda tidak bisa lari dari tanggung jawab hari esok dengan menghindarinya pada hari ini”. (Abraham Lincoln). Seorang ilmuwan besar Albert Einstein (1879-1955) mengatakan, "The price of greatness is responsibility" (harga sebuah kebesaran ada di tanggung jawab).Tanggung jawab adalah mutiara hati. Ia adalah salah satu nilai pokok dalam budaya korporat suatu organisasi. 

       Seperti halnya suatu komitmen, seseorang yang memiliki amanah untuk melakukan pekerjaan tertentu biasanya bersikap hati-hati. Termasuk kalau sedang bekerjasama dengan mitra kerja lainnya. Mengapa demikian? Karena setiap butir kesalahan walau sekecil apapun harus bisa dipertanggung jawabkan. Konteksnya dalam meraih mutu kerja, efektifitas dan efisiensi kerja. Semakin bertanggung jawab dibarengi dengan semakin kuatnya komimen maka semakin berhasil seseorang melaksanakan pekerjaannya sesuai harapan. Untuk itu maka pihak manajemen seharusnya mampu mengkondisikan agar setiap karyawan bersikap .tanggung jawab. Sistem imbalan/penghargaan dan hukuman kaitannya dengan tanggung jawab sangat penting diterapkan. Suatu ketika tanggung jawab itu sendiri sudah merupakan bagian dari kebutuhan tiap individu organisasi atau sudah terinternalisasi.