Didirikan 32 tahun yang silam, Blue Bird Group (BBG) kini berkembang menjadi perusahaan transportasi darat terkemuka di Indonesia dengan karyawan 20.000 orang lebih dan memiliki 13.000 kendaraan. Dewasa ini, transisi kepemimpinan terus berlangsung dari generasi kedua ke generasi ketiga. Bagaimana strategi suksesi di BBG?
Siapapun tidak akan pernah membayangkan BBG akan menjadi sebesar sekarang. Cikal perusahaan ini diawali saat Ibu Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, SH. (kini almarhumah) bersama anak-anaknya menjalankan usaha taksi "gelap" untuk menghidupi keluarga setelah sang suami Prof. Djokosoetono, SH. wafat. Mobil yang dijadikan usaha taksi adalah mobil-mobil peninggalan Pak Djokosoetono.
Kala itu, seluruh keluarga ikut berperan serta dalam usaha taksi tersebut, mulai dari pemasaran dan penerima order hingga menjadi pengemudi. Chandra Suharto (anak tertua), misalnya, bertugas sebagai operator telepon, sedangkan Purnomo Prawiro (anak ketiga/bungsu) sebagai pengemudi. Untuk menambah jumlah mobil, Ibu Mutiara bekerjasama dengan janda-janda pahlawan dengan memanfaatkan mobil-mobil mereka untuk menjadi taksi.
Bermodalkan pengalaman usaha taksi itu, Ibu Mutiara kemudian memberanikan diri untuk meminta ijin taksi resmi dari Gubernur DKI Ali Sadikin. Pada awalnya, permintaan tersebut ditolak karena latar belakang beliau hanya seorang ibu rumah tangga dan tidak berpengalaman dalam bisnis yang keras ini. Sedangkan, perusahaan taksi lainnya yang ada sudah banyak makan asam garam bisnis transportasi, seperti Gamya, Morante, dan lainnya.
Ibu Mutiara tetap gigih memperjuangkan ijin itu. Ia mengumpulkan berbagai rekomendasi dari hotel dan sejumlah pelanggan lain, dan semua itu cukup ampuh meyakinkan Gubernur DKI sehingga ijin usaha taksi itu ke luar. Setelah ijin ke luar, tantangan berikutnya muncul, yaitu mendapatkan pinjaman bank untuk membeli mobil baru. Bank enggan memberikan pinjaman. Rumah satu-satunya milik Ibu Mutiara yang berlokasi di Jl. HOS Cokroaminoto akhirnya dijaminkan berikut 24 mobil yang dijadikan taksi. Maka, lahirlah perusahaan taksi Blue Bird dengan warna biru yang teduh.
Tantangan demi tantangan muncul silih berganti, tetapi sejarah menjadi saksi betapa kegigihan dan keteguhan sikap Ibu Mutiara bersama anak-anaknya tidaklah sia-sia. Dari 24 taksi, kini BBG mengelola 13.000 unit kendaraan dan 20.000 karyawan lebih. Saat berdiri, pangsa pasar Blue Bird hanya 15% dari 7 perusahaan taksi yang ada di Jakarta. Sekarang, BBG menguasai 54% pangsa pasar dengan jumlah perusahaan taksi yang naik menjadi 45 buah. BBG menjelma menjadi perusahaan transportasi darat terkemuka dan paling sehat di Indonesia. Tak hanya itu, beberapa perusahaan taksi yang pada saat awal memandang Blue Bird sebelah mata, akhirnya diselamatkan BBG dari kebangkrutan. Bank-bank pun kini berlomba menawarkan pinjaman dengan jaminan mobil yang dibeli. Kehidupan menjadi serba terbalik. Berkat usaha taksi itu pula, Ibu Mutiara berhasil menghantarkan ketiga anaknya meraih gelar sarjana.
Setelah 28 tahun membangun dan membesarkan BBG, akhirnya wanita yang murah senyum itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Almarhum sudah mempersiapkan kedua puteranya DR. Chandra Suharto, MBA. dan dr. Purnomo Prawiro untuk mengambil tongkat estafet kepemimpinan di BBG. Chandra menjabat Presiden Komisaris BBG dan Purnomo menduduki posisi Managing Director.
Namun, proses suksesi dari generasi satu setengah ini (begitu Purnomo menyebut dirinya dan kakaknya Chandra karena mereka telah ikut merintis usaha ini bersama Ibu Mutiara sebagai generasi pertama, red) suatu saat harus pula berlangsung karena usia mereka yang terus bertambah. Mereka sedang mempersiapkan generasi ketiga - anak-anak mereka - sebagai penerus kepemimpinan BBG. Dewasa ini, 2 anak Purnomo (Noni Purnomo, B.Eng., MBA. dan Ir. Adrianto Djokosoetono, MBA) dan 2 anak Chandra (Kresna Djokosoetono dan Sigit Djokosoetono) bergabung di BBG. Noni, Kresna, dan Sigit menduduki posisi Vice President (sebutan baru sebagai pengganti jabatan Senior Manager, red) untuk posisi yang berbeda. Noni VP untuk bidang pengembangan bisnis, Kresna membawahi audit, dan Sigit memimpin bidang reservasi. Sebagai anak paling bungsu, Andri (panggilan Adrianto) sekarang masih menjabat manajer di bidang teknologi informasi.
Pembagian bidang tugas tersebut, menurut Purnomo Prawiro, dilakukan atas minat dan kompetensi masing-masing, bukan atas pembagian jabatan antara Purnomo dan Chandra. Penempatan anak-anak itu didasarkan pada prinsip the right man/woman on the right place. Satu puteri Purnomo lainnya, Sri Adriyani Lestari Purnomo yang dokter memilih untuk mengambil spesialisasi kebidanan.
Kendati kini telah memegang posisi, anak-anak tersebut harus memulai karir dari bawah. "Kalau langsung duduk di atas, mereka seperti diawang-awang. Ibarat di atas awan, seakan-akan di bawah semuanya mulus dan tanpa gejolak, padahal tertutup oleh awan," tukas dokter lulusan Fakultas Kedokteran UI 1974 itu. Tidak hanya mengerti tentang pekerjaan, anak-anak dituntut untuk menghayati pekerjaan. Misalnya, jadi staf itu seperti apa, atau jadi orang bagian operasi shift 3 itu seperti apa? Begitu pula jadi manajer menengah. Mereka harus tahu apa saja masalah yang dihadapi setiap level bagian atau sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat.
Noni, anak tertua pasangan Purnomo dan Hj. Endang Basuki Purnomo, misalnya, sudah terlibat dengan bisnis ini sejak berusia 5 tahun. Ia ikut mempersiapkan gulungan-gulungan yang berisi perhitungan komisi setiap pengemudi. Berlanjut saat SMP dan SMA, ia bekerja paruh waktu menjadi data entry selama masa liburan sekolah. "Itu pun saya dites sebelum diterima," ujar ibu satu puteri berusia 5 tahun itu. Ia tidak merasa diistimewakan karena harus menyelesaikan beban pekerjaan sesuai target. Menurut Noni, perbedaannya paling saat meminta bantuan karyawan lain bila ia tidak mengerti. "Karyawan senior akan cepat datang membantu," tuturnya, sambil menambahkan, "Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk bekerja saat liburan sekolah."
Saat kuliah Teknik Industri di University of Newcastle, Australia, Noni mengambil tesis tentang efisiensi untuk memperbaiki kinerja bengkel Blue Bird. Pulang dari Australia setelah meraih gelar bachelor tahun 1994, Noni tidak langsung kembali ke BBG. Ia memilih bekerja di bidang pemasaran pada PT Jakarta Convention Beureau. "Saya ingin mempelajari teknis pemasaran karena waktu itu di BBG belum ada pemasaran. Yang ada hanya bagian penjualan," katanya. Pekerjaan itu dijalaninya setahun. Itu pun sambil bekerja malam di BBG dengan jabatan setingkat supervisor. Jadi, sepulang dari kantor lain, Noni bekerja lagi di BBG.
Kemudian, ia meneruskan sekolahnya dengan mengambil program MBA di University of San Francisco dengan major di bidang pemasaran dan keuangan selama setahun lebih (1996-1997). Setelah menggondol gelar MBA, Noni bergabung kembali ke BBG dengan memimpin Divisi Pengembangan Bisnis. "Inilah enaknya sebagai anak pemilik. Bidang yang tidak ada bisa diadakan," katanya terkekeh. Bidang pengembangan bisnis sendiri diakui Purnomo sangat penting buat BBG. "Yang paling benar dan gampang memimpin bagian ini, ya keluarga pemilik," tukasnya juga sambil tertawa.
Tugas Noni mencakup pengembangan bisnis secara internal dan eksternal. Secara internal, Noni bertanggung jawab untuk pengembangan sistem, misalnya aspek Total Quality Management. Secara bertahap, BBG menerapkan tahapan menuju sertifikasi ISO 9002. "Kami memilih untuk mencoba pendekatan berbeda, tidak langsung mengambil sertifikat ISO," tuturnya. Pengembangan bisnis eksternal dilakukan dengan menyusun strategi pemasaran, termasuk strategi membangun citra perusahaan baik dengan iklan langsung maupun program public relations (PR) internal. Program PR internal dilakukan untuk membuat para pengemudi sebagai frontliners puas.
Tampilnya 4 anak pemilik di jajaran pimpinan BBG tidak berarti peluang karir bagi professional tertutup. Dari 9 jabatan VP, hanya 3 yang diisi keluarga pemilik. Di jajaran direksi - di atas ketiga anak pemilik dan VP lainnya�- ada seorang direktur profesional yang telah berkerja sekitar 20 tahunan di BBG (H. Handang Agusni). H. Handang memulai karirnya dari bawah sekali sebagai staf operasi. Ia bertanggung jawab mengelola operasi harian usaha transportasi, sedangkan Purnomo bertanggung jawab pada aspek kebijakan operasi usaha transportasi dan memimpin sayap usaha non-transportasi dari BBG (seperti usaha Hotel di Lombok dan sejumlah usaha patungan dalam bidang karoseri, depo kontainer, mobil pemadam kebakaran, dan usaha freight forwarding).
"Saya kira, lingkungan kerja untuk profesional di sini cukup kondusif," tegas Purnomo. Purnomo dan Chandra telah memasang rambu-rambu yang jelas kepada keluarga besarnya soal keterlibatan di BBG. Pertama, yang boleh ikut dalam perusahaan hanya anak-anak pemilik. Pasangannya (suami atau istri) tidak diperbolehkan. Kedua, sedapat mungkin tidak menerima anggota keluarga lain - keponakan, sepupu, dan sejenisnya - untuk bergabung. Purnomo mengaku, lebih senang menghubungi temannya untuk mencarikan tempat bekerja bagi saudara ketimbang menerimanya di BBG. Kalaupun ada saudara yang ingin bekerja di BBG, ia menyerahkan sepenuhnya proses seleksi kepada manajer HRD. "Kami tidak ikut campur," ulasnya.
Selama hasil tesnya bagus dan di atas yang lain, dia layak diterima. Setelah masuk bekerja, orang itu diusahakan tidak berada langsung di bawah mereka. "Ini untuk menghindari berbagai dampak buruknya. Misalnya, masalah pekerjaan bisa menyebabkan keretakan dalam keluarga dan sebaliknya," tambahnya. Hingga kini, di luar anak-anaknya, sedikit sekali saudara jauh pemilik yang bergabung di BBG.
Sadar usia terus bertambah, Purnomo dan Chandra berencana untuk pension sebagai pimpinan dan cukup sebagai pemilik saja. Ia berharap pada usia 60 tahun (3 tahun lagi) hal itu bisa terwujud. Kelak, ia cukup datang sekali seminggu ke kantor dan bisa mengerjakan aktivitas lain yang bermanfaat, semisal kegiatan sosial. Penghasilannya cukup dari dividen sebagai pemilik, karena hingga kini sebagian saham masih atas nama dirinya (sebagian lagi sudah diserahkan kepada anak-anak). "Untuk berjaga-jaga supaya nanti saya tidak mengemis-ngemis dari anak-anak minta uang," katanya terbahak.
Siapa di antara anak-anak yang bakal menggantikan posisi pimpinan di BBG, tidak terlalu dirisaukan oleh Purnomo meskipun ia melihat hal itu sangat strategis untuk kemajuan BBG ke depan. Menurutnya, harus ada orang luar yang netral untuk ikut memikirkan suksesi kepemimpinan di BBG di luar keluarga pemilik. Sebaiknya, papar Purnomo, ada pemegang saham dari pihak luar supaya penilaiannya lebih obyektif. Caranya bisa dengan go public ataupun dengan mengundang strategic investor. "Saya sendiri menilai, pilihan strategic investor lebih baik," ungkapnya. Rencana ini masih digodok, bisa saja investor strategic itu adalah salah mitra usaha BBG dalam sejumlah usaha patungannya (dari Jerman, Malaysia, Spanyol, dan sebagainya).
Satu hal yang pasti, semua pemilik sudah bersepakat untuk terus mengembangkan BBG sehingga menjadi grup usaha penuh di bidang logistik terkemuka di Indonesia dan kawasan ini. "Jangan sampai generasi ketiga hanya menghabiskan uang saja," katanya serius di depan Noni.