Sabtu, 04 Juni 2011

KEADILAN

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan "kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan" (back to law, justice and humanity). Apa maksudnya, karena tidak ada lagi hu-kum, keadilan dan rasa kemanusiaan di Indonesia? Apa proses hukum yang berintikan keadilan sudah jauh menyimpang dari keadilan dan kemanusiaan?

Atau karena ikut-ikutan latah saja, dikaitkan dengan ungkapan back to basic dan ada lagi back to nature? Atau mungkin ada alasan lain untuk menunjukkan, bahwa dalam proses peradilan dan penegakan hukum di Indonesia tidak ada yang "kebal hukum", siapa pun harus diperiksa "tanpa pandang bulu" termasuk "setan gundul" dan tidak perlu takut pada backing-backing-nya?

Atau mungkin ada sebab-sebab lain, seperti pelecehan terhadap lembaga peradilan? Apakah kondisi hukum dan keadilan di Indonesia sudah sedemikian ruwet semrawutnya seperti benang-benang kusut, semakin dibenahi semakin kisut? Atau karena aparat penegak hukum, tidak berhasil mengejar para pelaku tindak pidana korupsi, ibarat sulitnya mengejar layang-layang yang putus benangnya? (nututi layangan pedot).

Dalam kehidupan kita sehari-hari memang sering terdengar orang berkeluh kesah, bagaimana mungkin keadilan dapat ditegakkan di negeri kita, kalau seorang pencuri ayam dihukum berat, sedangkan seorang koruptor yang merugikan negara hanya dihukum ringan saja?

"Di mana letak keadilannya?"

Masyarakat kita pada umumnya sangat sederhana dalam pola pikirnya, terutama dalam masyarakat adat yang hanya mampu mengucapkan kalimat yang singkat saja, yaitu nyuwun adil (minta keadilan). Bahkan mitos yang pernah berkembang dan pernah kita dengar di masyarakat adalah "kapan datangnya ratu adil". Itu menunjukkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang bersifat mendasar dalam kehidupan seorang manusia dan karena itu pula masalah yang juga paling mendasar ialah bagaimana "ukuran keadilan" itu sendiri.

Persoalan ini sudah berkembang sejak munculnya ilmu-ilmu sosial, dan sampai sekarang masih terus diperdebatkan orang. Karena itu ada yang beranggapan, bahwa ukuran keadilan itu "subyektif" dan "relatif". "Subyektif", karena ditentukan oleh manusia yang mempunyai wewenang memutuskan itu tidak mungkin memiliki kesempurnaan yang absolut. "Relatif", karena bagi seseorang dirasakan sudah adil, namun bagi orang lain dirasakan sama sekali tidak adil.

Bangsa Indonesia tetap memandang keadilan dan norma-norma kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sesuatu yang luhur dan suci, yang dapat member ketentraman dan ketenangan lahir dan batin, karena keadilan memang merupakan kepentingan utama dalam kehidupan manusia. Karena itu dapat dimengerti, apabila terdapat perbedaan dalam melihat takaran atau ukuran keadilan.

Memang ada bermacam-macam teori dan pandangan mengenai hukum dan keadilan yang dapat kita pelajari, namun pertanyaan praktis yang timbul adalah: Apakah anggota masyarakat yang meminta keadilan mendapat perlakuan dan pelayanan secara wajar oleh polisi, jaksa dan hakim? Apakah polisi, jaksa dan hakim melayani anggota masyarakat tersebut secara jujur dan tidak memihak? Apakah proses penangkapan, penahanan, penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan tidak menyimpang dari asas praduga tidak bersalah dan perlindungan hak asasi manusia? Apakah proses tersebut tetap berada pada bingkai atau pigura hukum? Saya tidak menggunakan istilah koridor hukum, walaupun istilah tersebut sering dipakai beberapa pakar hukum.

Koridor menurut tatabahasa artinya suatu lorong yang menghubungkan gedung yang satu dengan yang lain. Lorong tidak selalu lurus dan terang, tapi ada kalanya berbelok-belok yang ujungnya gelap, tidak kelihatan transparan. Kelakar sementara orang, jangan-jangan prosesnya menjadi "Uud-45" (Ujung-ujungnya duit, dikasih 4 minta 5). Keadilan pada hakekatnya merupakan perasaan yang luhur yang tidak bisa diperoleh melalui pembelian uang atau nilai kebendaan lainnya.

Oleh karena itu apabila ada orang yang membeli keadilan melalui uang atau menjual keadilan, langsung saja perasaan kita tersinggung. Nurani kita tergores. Dan, jika ini terjadi secara alamiah akan terjadi perlawanan dalam kalbu kita. Para penegak hukum harus lebih tanggap dan cekatan dalam menangani rasa keadilan masyarakat. Kendati demikian, kita tidak boleh menutup mata, bahwa proses penegakan keadilan belum lagi sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan kita. Itu terbukti dari masih adanya kejadian-kejadian yang merusak citra keadilan, seperti masih adanya perbuatan yang tercela dari beberapa hakim. Padahal jabatan hakim adalah jabatan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya oleh orang-orang yang amat terpilih saja.

Di antara jabatan duniawi yang disebut secara terbatas di dalam Kitab Suci, adalah hakim dan karena itu tidak jauh dari maksud Kitab Suci, bahwa peradilan itu dilaksanakan "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Para hakim juga sadar, bahwa berbagai ragam cobaan dan godaan akan selalu menghadang mereka yang akan mencoba mempengaruhi keteguhan imannya, dengan antara lain mau menerima imbalan sesuatu.

Apabila hal tersebut terjadi, maka putusan keadilan yang diucapkan, adalah keadilan semu dan keadilan yang tidak adil, karena didasarkan atas imbalan materi, dan tidak didasarkan atas keyakinan terhadap salah atau tidaknya seseorang. Martabat hakim akan jatuh di mata para pencari keadilan, baik karena para hakim mau menerima sesuatu malahan meminta sesuatu, ataupun karena tidak dapat mengendalikan diri dalam memimpin persidangan.

Menegakkan keadilan dan kebenaran atas dasar imbalan tertentu, sesungguhnya merupakan pekerjaan yang bersifat nista dan tidak layak dilakukan oleh seorang hakim. Itulah sebabnya dalam pertemuan CGI di Jakarta bulan November 2001, ditekankan perlunya segera dilaksanakan program reformasi di sektor peradilan. Dalam salah satu presentasi bahkan diungkapkan bahwa 75 % penduduk Indonesia berpendapat sektor peradilan adalah sektor yang korup.

Ada ungkapan yang berbunyi, What this country needs is not more judges, but more judgment. Itulah sebabnya mengapa penegakan hukum merupakan upaya menumbuhkan dan menegakkan keadilan dalam ukuran obyektif dengan alur pikir yang rasional. Jauh dari rasa emosional,
apalagi irasional, tidak berdasarkan akal yang sehat, malahan berkesan akal-akalan.

Mantan Hakim Agung Johansyah mengakui terkadang terdapat inkonsistensi putusan di Mahkamah Agung karena kelemahan administrasi dan banyaknya penafsiran hukum untuk kasus yang berbeda tapi jenis perkara yang sama. (Media Indonesia, 13 November 2002).

Beban-beban kemasyarakatan dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan masyarakat dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan, perlu diimbangi dengan sikap tanggap untuk lebih memantapkan prinsip "kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar